Wage Rudolf Supratman.

Dari Sabang sampai Boven Digul, mereka yang mengikuti wajib belajar 12 tahun pastinya sudah tidak asing lagi dengan lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan setiap hari senin. Lagu yang menjadi pengiring pengibaran bendera merah putih ini diciptakan oleh Wage Rudolf Supratman.


Wage lahir di Purworejo pada 1903, tetapi menghabiskan masa mudanya di Bandung. Sebelum menciptakan lagu Indonesia Raya, ia adalah anggota grup band beraliran Jazz bernama: Black and White Jazz Band. Wage manggung dari satu kafe ke kafe lainnya di Kota Bandung. Selain menjadi Band Kafe, Wage juga bekerja sebagai redaktur di koran Kaum Muda dan Kaum Kita pimpinan Abdul Muis, sang sastrawan Indonesia yang pada waktu itu menjabat sebagai aktivis Syarekat Islam cabang Bandung.


Sebagai seorang Jurnalis di bawah binaan seorang aktivis, tentu saja Wage mengetahui bagaimana riak Nasionalisme yang bergelora pada saat itu. Sebagai seorang seniman musik, ia rajin membaca majalah-majalah musik yang pada waktu itu ada tantangan untuk membuat lagu kebangsaan sendiri. Aktivis dan seniman musik pun bersatu sehingga menghasilkan lagu Indonesia Raya pada 1924.


Lagu ini pertama kali diterbitkan dalam bentuk notasi di koran tempat ia bekerja saat itu: Sin Po, milik seorang Sino-Indonesia (etnis tionghoa) di Jakarta pada 10 November 1928, dan pertama kali direkam oleh perusahaan plat gramophone milik seorang Sino-Indonesia bernama: Tio Tek Hong pada 1927.


Artinya setahun sebelum lagu Indonesia Raya dinyanyikan di hadapan peserta Kerapatan Pemuda II atau Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan dipublasikan di koran Sin Po, lagu Indonesia Raya sudah terlebih dahulu direkam di perusahaan milik seorang Sino-Indonesia.


Jadi, lagu Indonesia Raya yang menjadi lagu kebangsaan negara kita ini dan menjadi lagu pemersatu bangsa yang besar ini lahir dari seorang jurnalis yang bekerja di koran milik orang tionghoa, direkam pertama kali di perusahaan milik orang tionghoa, dan dipublikasikan untuk pertama kali di koran tionghoa.


Harusnya saat lagu Indonesia Raya ini diperdengarkan, kita harus terbebas dari politik Indentitas atau kesukuan yang kerap memecah belah bangsa ini. Mereka, para Sino-Indonesia, tidak berbeda dengan suku bangsa lainnya yang ada di negeri ini. Mereka telah memilih untuk melepaskan ke-Cina-annya saat gejolak Nasionalisme bergelora di tahun 20an dan menyatakan ikut mendukung kemerdekaan Indonesia.


Sayangnya, koran Sin Po yang pada 1962 berganti nama menjadi Warta Bakti dibredel pada 1965, karena dianggap ikut bertanggung jawab atas terjadinya krisis politik saat itu, sehingga kita tidak bisa lagi melihat jejak koran yang pertama kali menerbitkan notasi Lagu Indonesia Raya tersebut, dan Wage Rudolf Supratman, sang penciptanya, harus tutup usia pada 17 Agustus 1938 atau 7 tahun sebelum Indonesia Merdeka.


Wage Rudolf Supratman tidak hanya menjadi simbol lagu persatuan, tapi juga simbol dari bagaimana perbedaan itu mampu menciptakan sebuah persatuan.


kiriman:

Dani Gautama